Mendung menggelayut di langit kota. Beberapa hari terakhir hujan pun telah mengguyur bumi dengan rinainya. Puji syukur padaMu ya Rabb, kota Hujan kini telah menangis bahagia. Semoga, nun jauh di sana, tanah-tanah rekah yang mulai mesakat segera lindap berganti harap. Bismillah.
Aha, barangkali aneh. Sungguh, saya belum pernah membaca Majalah Horizon. Majalah yang menurut teman sekamar saya memuat berbagai karya sastra yang menurutnya agak berat dan susah untuk dipahami. “Oh, begitu”, jawab saya waktu itu.
Sebenarnya saya juga masih bingung, apa saja batasan bahwa karya tulis ini disebut sebagai tulisan sastrawi sedangkan yang lainnya bukan. Atau apakah karya tulis-fiksi yang diungkapkan dengan bahasa indah itu semuanya bisa disebut sebagai tulisan sastrawi? Atau memang, sebuah tulisan itu baru dikatakan sebagai tulisan yang sastrawi ketika mampu membuat pembacanya pusing karena tidak menangkap maknanya? Hhmm, jujur, saya belum memiliki pengetahuan tentang hal itu. Apatah lagi ketika sudah mulai menjurus pada istilah “sastra ideologis”.
Saya ingat, beberapa waktu lalu ada diskusi menarik di grup BN yang membahas tentang; apakah hukum menulis fiksi? Lalu, sekarang muncul diskusi yang lebih seru lagi terkait dengan; apakah karya sastra bisa digunakan untuk menyampaikan pemikiran atau tidak? Dan lagi-lagi, saya tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang hal itu.
Bila suami teman saya mampu memberikan nilai 1 untuk KEMI ditinjau dari tingkatan sastrawinya. Aih, saya baru sebatas penikmat saja. Mekipun, lagi-lagi saya masih bertanya-tanya; apakah sebuah tulisan itu tidak disebut sebagai tulisan sastrawi karena mudahnya dipahami? Lalu, bagaimana dengan puisi Atas Nama Cinta karya Denny JA yang dia sebut sebagai puisi esai itu? Menurut Sapardi Djoko Damono (Penyair), dalam tulisannya yang berjudul Memahami Puisi Esai Denny JA, ia menulis bahwa; “esai adalah tulisan yang merupakan tanggapan pribadi terhadap masalah apa pun yang terjadi di sekitarnya; dari sisi itu esai adalah karya sastra.” Jujur, membaca beberapa puisi Denny yang ia sebut sebagai puisi esai itu -bahkan ada catatan kaki segala- yang dengan mudah diketahui arah pemikirannya, saya agak mual setelahnya. Seperti itukah karya sastra?
Lembayung senja sembunyi meninggalkan cerlang yang kian tenggelam. Sedang di luar hujan tumpah-ruah begitu saja, menjadi tinta bagi jemari pena yang ingin menulisi isi hati.
“Cipayung, Juli 1998. Majalah Horison, April, 1999. Cerpen ini dinobatkan sebagai salah satu cerpen terbaik Horison selama sepuluh tahun terakhir (1990-2000)”
Wow, membaca titimangsa dari cerpen Jaring-Jaring Merah karya Helvy Tiana Rosa itu saya benar-benar surprise. Iya, tahun 1998 selalu mengingatkan saya (kita) tentang peristiwa lengsernya kekuasaan Orba. Masa itu saya masih tinggal di sebuah dusun di pedalaman Jambi. Sebatas menonton berita di televisi meskipun sejatinya tidak tahu apa-apa, kecuali sebuah cita-cita ingin ikut aksi seperti mahasiswa bila telah di kota nanti. Namun, meskipun cerpen itu telah berusia lebih dari sepuluh tahun, saya baru membacanya tadi. Itupun setelah saya mendapat panggilan untuk membacanya.
Saya suka cerpen itu. Tapi, kalau saya ditanya; apa kira-kira yang ingin Helvy Tiana Rosa sampaikan dari cerpen Jaring-Jaring Merah tersebut? Wah, saya tidak tahu. Bukankah yang lebih tahu adalah penulisnya? Tapi, kalau saya ditanya; apa yang kamu pahami dari cerpen Jaring-Jaring Merah itu? Tentu saya akan menjawab sebatas kemampuan am saya yang baru bisa sebagai penikmat ini.
Cerpen dengan judul Jaring-Jaring Merah ini lahir dari peristiwa sejarah yang terjadi di ujung pulau Sumatera. Sebagaimana karya sastra lainnya yang juga lahir dari peristiwa sejarah memang mampu membangkitkan rasa pembaca. Pembaca dibawa ke dalam imajinasi yang luar biasa bahkan seakan turut mengalami peristiwa itu sendiri. Sehingga, saking kuatnya pengaruh imajinasi penulis ini, terkadang pembaca menyangka bahwa tokoh-tokoh yang ada dalam karya yang lahir dari sebuah peristiwa sejarah adalah nyata.
Saya sangat menikmati membaca cerpen itu. Kombinasi tuturan “aku” yang dipanggil Inong dan dialog dengan temannya yang dipanggil Cut Dini semakin membuat cerpen itu berisi. “Inong” dalam bahasa Aceh berarti perempuan. Namun ada juga julukan “Inong Balee” yang berarti wanita yang sudah ditinggal suaminya (meninggal karena peperangan melawan penjajah). Hanya saja sebutan “Inong Balee” juga diberikan kepada tentara wanita GAM oleh panglima mereka, Tengku Abdullah Syafei meskipun pada akhirnya dirubah menjadi “Laskariyah” dengan arti yang sama sebagai tentara wanita GAM.
Secara keseluruhan alur cerpen itu cukup sederhana, meskipun pada akhirnya terkesan menggantung. Bermula dari tokoh aku yang bertutur sendiri mengenai arti kehidupan. Dikatakannya bahwa, “Hidup adalah cabikan luka. Serpihan tanpa makna. Hari-hari yang meranggas lara”. Mengapa Inong memaknai hidup seperti itu? Semua itu dijelaskan pada kisah pilu yang menyayat kalbu, pembantaian anggota keluarganya oleh orang-orang berseragam loreng bertopi merah, direnggut keperawanannya hingga digambarkan hanya tersisa, “nyeri yang amat sangat merejam-rejam tubuhku!” Inong pun menjadi semakin terpuruk, dengan kesedihan yang sulit dilupakan. Bersyukurlah ada Cut Dini yang bersedia merawatnya ketika penduduk kampung telah berpikir untuk memasungnya. Karena ia telah dianggap gila.
Kekuatan cerpen Jaring-Jaring Merah ini tampaknya bukan sebatas pada corak peristiwa tragis yang terjadi (pembantaian keluarga, pemerkosaan, depresi, lalu dianggap gila). Tetapi kekuatannya terletak pada peristiwa sejarah yang melarbelakangi lahirnya karya ini. “Jaring Merah” adalah kata sandi yang dipakai untuk menyebut operasi militer masa itu. Aceh berstatus DOM (Daerah Operasi Militer) selama hampir sepuluh tahun, yaitu dari tahun 1989 hingga tahun 1998. Dan dikabarkan lebih dari 3000 rakyat Aceh dibantai. Rumah-rumah dibakar, wanita menjanda dan banyak yang diperkosa serta yang lain hilang tak tahu rimbanya.
Buket Tangkurak di mana dalam kisah diceritakan Inong menggali-gali tanah mencari mayat keluarganya adalah nama sebuah perbukitan tempat pemakaman masal korban pembantaian dikebumikan. Siapa saja yang dituduh sebagai anggota GAM pengikut Hasan Tiro, maka julukan sebagai GPK (Gerombolan Pengacau Keamanan) akan tersemat kepadanya. Cuak-lah yang menjadi informan atau mata-mata bagi militer. Bila ada rakyat yang dituduh menjadi anggota GPK, maka dapat dipastikan tidak akan selamat dari jeratan “Jaring Merah”.
Rumoh Geudong yang terletak di kabupaten Pidie didirikan pada tahun 1818 M. Pada masa Belanda dan Jepang, rumah besar ini menjadi pusat perjuangan membela agama dan merebut kemerdekaan Indonesia. Namun, sejak tahun 1990 Rumoh Geudong digunakan sebagai pos militer (Pos Sattis). Sejak saat itu keberadaan Rumoh Geudong bagaikan “neraka” bagi rakyat Pidie. Para anggota Kopassus telah menjadikan rumah tersebut menjadi pos militer sekaligus “rumah tahanan” bagi rakyat yang dituduh sebagai anggota GPK.
Sungguh, dalam tulisan fiksi, biasanya penulis tidak menyebutkan nama dan tempat dengan gamblang dan jelas. Seperti pada novel The Brain Charger buah karya Pizaro yang menyebut Univeritas Islam Bangsa sebagai universitas Islam ternama di Ciputat. Namun tidak dengan cerpen Jaring-Jaring Merah yang berlatar peristiwa sejarah ini. Cerpen tersebut mengungkapnya dengan jelas nama-nama tempat beserta kejadian peristiwa yang menjadikannya semakin tampak nyata. Sehingga benar-benar memikat.
Inong, tokoh utama yang digambarkan bisa terbang dari imajinasinya sendiri itu membuat karakternya semakin matang. Seseorang yang mengalami depresi akut memang terkadang sering berhalusinasi. Menganggap dirinya bisa terbang seumpama burung, berbicara sendiri dan lain sebagainya. Dan terbang ke awan adalah gambaran sesorang yang merasa lepas bebas dari segala derita. Dan itulah yang sebenarnya diinginkan Inong. Namun, meskipun “Jaring Merah” itu kini telah pergi dengan dicabutnya status DOM di Aceh dan rezim telah berganti. Inong masih memiliki luka menganga, yang membuatnya selalu terkapar. Menggelepar. Berdarah dalam jaring. Kemarahan yang terpendamlah yang telah menjaring dirinya sendiri.
Memang kisah ini terkesan menggantung dan tidak jelas akhirnya. Namun, beberapa teman saya bilang, akhir sebuah kisah yang menggantung menjadikan pembaca bebas berimajinasi melanjutkan sesuai dengan keinginannya tanpa merasa dipaksa mengikuti akhir kisah dari penulis.
Menurut saya, Helvy Tiana Rosa telah berhasil menyampaikan pesan dalam kisah tersebut. Memang bukan pada akhir kisah, apakah Inong sembuh atau tidak. Tapi penyampaian kabar bahwa telah ada pembantaian oleh militer dengan sandi Jaring Merah yang terkesan ditutupi oleh berbagai pihak. Dan korban tidak pernah mendapatkan keadilan.
0 Komentar